Wednesday 6 March 2013

PENGERTIAN POLITIK MENURUT PARA AHLI DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

pengertian+politik+budaya+birokrasi
Setelah kita mempelajari beberapa pengertian politik menurut para ahli pada tulisan sebelumnya, kali ini kita mencoba memberikan masukan konstruktif ke dalam kancah dunia perpolitikan negara kita, karena realitas menunjukkan bahwa politik di negara ini sudah sangat kentara dengan praktek politik yang tak memiliki etika politik.
Politik merupakan salah satu aspek yang sangat signifikan dalam keberlangsungan suatu negara. Kini yang harus kita pertanyakan, adakah etika berpolitik yang harus kita pegang?  Banyak negara di dunia yang kemudian menjadi negara yang besar dan berkembang karena kelincahannya dalam berpolitik, semisal AS yang mungkin kita semua sudah meyakini kelincahan politiknya. Kita lihat realitas yang ada, AS dewasa ini menjadi negara yang mempunyai kekuasaan politik yang universal. Bagaimana dengan negara kita?  Namun, di sini kita tidak berhak dan kurang bijak jikalau kita men-judge para pelaku politik itu dengan predikat negatif, karena banyak juga di antara mereka yang kemudian berjuang mati-matian untuk merubah dan membawa perubahan dan perombakan dalam sistem politik di negara kita.  Dan sekali lagi hal ini menunjukkan sebuah paradoks yang mungkin sangat menyedihkan yang sayangnya terjadi di negara yang begitu kaya dengan SDA dan mayoritas beragama Islam, seperti Indonesia.

POLITIK PARA ELIT YANG MEMPENGARUHI BUDAYA BIROKRASI NEGARA
Perbandingan antara jumlah PNS fungsional yaitu yang memiliki keahlian tertentu yang sangat dibutuhkan di pelosok Nusantara dan PNS administrasi umum yang menangani administrasi kepegawaian duduk di kantor ibarat bumi dan langit. Dari sekitar 4.7 juta PNS sebanyak 80 persennya adalah tenaga administrasi umum.  Ada moto yang beredar di kalangan PNS yang bertugas di bagian administrasi, "Kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat". Dengan diperlambat maka masyarakat yang tak sabar menunggu siap-siap menggunakan jalur 'patas' dengan 'perangko' cepat kilat. Sebagai contoh pelayanan public yang mengharuskan antri, kita akan tercengang dbuatnya karena harus mengantri berjam-jam sementara ada calo yang berkeliaran di kantor pelayanan public tersebut yang dilayani terlebih dahulu. Itulah jalur patas, yang dibayar dengan "uang lelah". Tentu masih ada PNS yang bekerja keras, profesional, dan jujur. Namun mereka minoritas dan 'dibenci' teman-temannya. Namun, jumlah mereka minoritas.
Kooptasi politik terhadap birokrasi di Indonesia menambah kompleksitas masalah yang terjadi, ini terjadi baik di tingkat pusat ataupun daerah. Kooptasi politik adalah tarikan kepentingan elit politik kepada para PNS. Elit politik semisal calon pemimipin daerah akan memberikan kedudukan dan posisi yang basah dan empuk bagi pendukungnya jika berhasil memenangkan pencalonannya.  Di tingkat pusat, menteri-menteri umumnya dipilih berdasar asal partai politik yang ikut penyusun koalisi pemerintah. Pos-pos menteri sudah dijatah untuk parpol tertentu. Dari 34 menteri, 17 menteri berasal dari parpol. Tentu saja, semua menteri dari parpol mempunyai agenda politik sesuai kepentingan parpol masing-masing.
Di daerah, cengkeraman kooptasi politik pada birokrasi tak kalah kuat. Dengan kooptasi seperti itu, justru politik yang menciptakan sistem di birokrasi, bukan sebaliknya. Birokrasi yang gemuk tentu tak lincah untuk bekerja. Masalah juga yang sangat penting adalah berimbas pada biaya belanja aparatur yang membengkak. Maka tak heran jika gaji, tunjangan, dan biaya perjalanan dinas, serta honorarium mendominasi anggaran belanja negara.
Struktur birokrasi yang tidak jelas tugas pokok dan fungsinya perlu dirampingkan. Seperti di tingkat pusat, postur birokrasi di daerah pun ikut-ikutan tambun. Lagi-lagi, hal itu akan menyedot anggaran daerah karena untuk membayar gaji, tunjangan, honor, dan biaya perjalanan dinas PNS serta pejabat daerah yang lebih banyak.
Selain menyedot anggaran, struktur birokrasi yang gemuk itu juga menyulitkan kerja yang terintegrasi. Kewenangan dan tugas satu instansi dan lainnya tumpang-tindih. Hal ini tentu saja sangat bergantung pada reformasi birokrasi yang tengah digalakkan.
Desain struktur serta profil kementerian dan lembaga yang diperlukan di tingkat pusat dan daerah memang masih didiskusikan. Harapannya, sistem perekrutan ini juga akan memutus mata rantai penjualan formasi PNS yang berkelindan di birokrasi.
Memang, soal pola pikir dan budaya birokrasi akan menjadi satu pilar yang sangat sulit dibenahi. Itulah yang menjadi tantangan negeri kita. Pengertian Politik menurut para ahli sangat luas dan penerapannya di Indonesia harus 'bersih' dari hal-hal yang menambah kompleksitas birokrasi negara.

Sumber : Berbagai Sumber

Artikel Terkait Obrolan Politik

0 comments:

Post a Comment